Monday, October 1, 2007

Budaya "Pembodohan Anak"

Saat sedang bermain dengan anak-anak seringkali kita mendapatkan ocehannya yang “ajaib”, polos, dan apa adanya. Kata-kata dari mereka masih begitu murni dari pikiran mereka yang “ simple ”, tetapi seringkali membuat kita diam dan tertegun karenanya.
“Oom, Adam dan Hawa ayah/Ibunya siapa ?” ujar seorang anak kecil berumur 5th
“Sayang, Adam dan Hawa tidak dilahirkan seperti kita, Mereka diciptakan Oleh Tuhan Allah” jawabku lalu menceritakan proses penciptaan semesta dan manusia menurut ajaran Agama.
“Oo, jadi hawa dari tulang rusuk Adam yah Oom” Ujar anak itu ceria
“Iya saying” jawabku
“trus Oom… Adam dan Hawa waktu nikah siapa yang nikahin Oom ?” Tanya anak tersebut serius
“ha??” ujarku sambil tertegun
“Iya, Kan kalo orang nikah ada yang nikahin (sepertinya yang dimaksud penghulu), Kalo Adam dan Hawa siapa Oom ?” ujar anak itu dengan polosnya
“hahahaha… , Waktu itu kan belum ada manusia lain Dan, Tuhan Allah sendiri sudah merestui mereka supaya mereka saling gotong-royong/ saling membantu” jawab saya sambil garuk-garuk kepala karena pertanyaan “Ajaib” tersebut.
“Terusin lagi dong Oom ceritanya, Adam dan Hawa punya anak berapa Oom?” Tanya anak tersebut sambil bermanja-manja
“???” Lagi-lagi saya bingung dibuatnya, karena saya sendiri tidak tahu dan tidak pernah berpikir begitu.

Kejadian seperti ini memang sering saya temui waktu bermain dengan anak-anak, namun sayangnya kadang pertanyaan anak kecil dijawab dengan asal-asalan oleh orang dewasa yang kurang perduli.

“Dik, kamu mau gak nih ? sini makannya bareng-bareng” Ujar saya sambil menawarkan kuaci kepada anak berumur 9th
“. . .” sejenak dia tampak ragu tetapi bergerak mendekat
“Ini ambil saja, sambil cerita-cerita yuk..” ajak saya sambil asik makan kuaci
“Iya, ambil aja … kita lagi minta diceritain nih sama Oom..” Ujar anak yang lebih kecil di sebelah saya
“”aa..a..Aku gak boleh …, K.k.kamu kan juga gak boleh makan itu?” Jawab anak 9th itu dengan takut-takut.
“???...makan kuaci? Gak boleh ?” Jawabku bingung
“Siapa yang bilang kita semua tidak boleh makan kuaci dik?” Tanya saya sambil garuk-garuk kepala
“Kata Papa sama Mama ..” Jawabnya polos
“Kata Papa kuaci itu dibuat pakai minyak babi.. jadi kita tidak boleh makan itu” ujarnya
“???” sekarang saya garuk-garuk kepala sambil gwleng kepala
“???” anak disebelah saya tampak menjadi ragu untuk mengambil kuaci lagi

Sungguh saya kesal dan panas hati ini, bukan karena perkataan anak itu akan tetapi karena sebuah pembodohan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang termasuk cerdas dan penurut itu. Melihat keraguan anak yang lebih kecil saya menjadi sadar bahwa kesalahan ini haruslah diluruskan, karena mereka membutuhkan bimbingan yang benar bukan kebohongan yang menyesatkan. Apabila anak tersebut memang tidak diperbolehkan mengkonsumsi kuaci maka dia harus diberi pengertian dengan cara yang lebih baik daripada membodohinya. Akhirnya saya menjelaskan bahwa kuaci itu tidak dibuat dengan minyak babi, memang bisa menggunakan minyak tapi bukanlah minyak babi, dan ada cara yang tidak menggunakan minyak sama sekali yaitu dipanggang. Setelah mendengar penjelasan itu si anak yang lebih kecil tampak lega dan kembali mengambil kuaci, sedangkan si anak 9th itu tampak ragu-ragu dan berkata
“ahh.. enggak ahh.. Itu kan Haram” ujar anak itu sambil menoleh ke anak yang lebih kecil lalu berkata lagi
“ aku gak mau main lagi ahh sama kamu, abis kamu makan kuaci yang dibuat dari minyak babi, Itu kan Haram” ujarnya lalu berlalu pulang. Secara spontan perubahan raut muka dari si kecil terlihat, mendadak menjadi merah lalu meneteskan air mata. Pemikiran anak yang begitu murni dan polos pun tercemar oleh pengertian yang "salah kaprah" diturunkan oleh orang tuanya. Sungguh Perih hati , seolah merasakan kesedihan dari si kecil, sambil memeluknya dan membujuknya saya pun menenangkannya. Kepada anak kecil tersebut saya tunjukan bungkus kuaci yang bertuliskan “Halal” dan tersenyum kepadanya.
“Nah.. Oom nggak bohong kan ? kamu nggak usah sedih yah .. nanti kamu bisa ajarkan papanya anak itu kalo kuaci itu bukan dibuat dengan minyak babi, dan Allah tidak pernah membenarkan perbuatan berbohong” ujar saya dan kembali mengajak anak itu bercerita lagi.

Kedua cerita di atas adalah hal yang sering ditemui dalam berkomunikasi dengan anak-anak, dan seringkali orang dewasa baik secara sadar ataupun tidak mempermainkan mereka tanpa memikirkan akibat yang dihasilkan.

Pada zaman sekarang ini kebanyakan orang tua dengan ekonomi yang cukup memiliki pengasuh anak agar anaknya termonitor setiap waktu, serta untuk pendidikannya mempercayakan kepada sekolah yang memiliki reputasi bagus. Hal tersebut tentu saja tidak cukup bagi perkembangan mental si anak. Bimbingan orang tua sangatlah vital bagi moral anak-anak. Seorang Guru dan Pengasuh anak adalah seorang pekerja dimana mereka memiliki background yang berbeda-beda satu dengan lainnya, ada yang bertanggung jawab dan ada pula yang tidak. Tetapi pada dasarnya semua orang merasa dirinya adalah benar, maka dari itu peran orang tua sangatlah penting disini untuk memberikan pondasi etika dan moral kepada anak-anaknya. Untuk dapat melakukan ini secara maksimal orang tua harus juga berintrospeksi diri agar sang anak tidak terjerumus kepada pandangan yang keliru. Contoh yang paling sering ditemui adalah menakut-nakuti anak agar sang anak tidak melakukan hal yang tidak diinginkan oleh orang tuanya.

Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, apakah kita akan membiarkan mereka di didik dengan “budaya berbohong” ?
Apakah kurangnya pengetahuan kita akan kita turunkan kepada generasi muda kita ?




Tips :
-Ajarilah mereka dengan tulus dan segenap kemampuanmu, agar mereka menjadi penerang bagi kehidupan.
-Selalu jujur dan sabar dalam menghadapi mereka
-Sediakan waktumu untuk mengajarkan dan menjawab keingintahuan mereka.
-Apabila ada hal yang kita tidak tahu, jujur saja dan berusaha mencari jawaban yang sebenarnya, agar lain waktu dapat memberitahunya.
-Manjakan mereka dengan Ilmu pengetahuan tetapi bukan dengan materi.
-Berilah Contoh disiplin dan terapkan sesuai dengan proporsional mereka.